Anggota Kelompok :
· Armailya
Sukma
· Dina
agusti
· Yudha
pratama
· Ronaldo
SJM
KEMISKINAN
Kemiskinan
adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar
seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Pada
tahun 1990 yang lalu perhatian masyarakat terhadap masalah kemiskinan kembali
digugah setelah cukup lama tidak banyak diperbincangkan di media masa.
Perhatian masyarakat tersebut berawal dari pernyataan Bank Dunia (1990) dimedia
massa yang memuji keberhasilan Indonesia dalam mengurangi jumlah penduduk
miskin. Menurut Bank Dunia, Indonesia
telah berhasil mengurangi jumlah penduduk miskin secara relatih dari 40,08 persen pada tahun 1976 menjadi 17,42 persen dari jumlah
populasi pada tahun 1987. Suatu penurunan yang sangat signitifikan hanya dalam
kurun waktu 10 tahun.
Namun demikian, secara absolut jumlah
penduduk Indonesia yang hidup dibawah garis
kemiskinan ternyata banyak yakni 22,6 juta jiwa pada tahun 1996. Selain
itu, masih banyak penduduk yang pendapatanya hanya sedikit sekali di atas batas
garis kemiskinan. Oleh karena itu, masalah kemiskinan ini masih tetap perlu
diperhatikan secara serius, karena tujuan pembangunan Indonesia adalah
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.
Sementara itu di dunia ilmiah masalah
kemiskinan ini telah banyak ditelaah oleh para ilmuwan sosial dari berbagai
latar belakang disiplin ilmu dengan menggunakan berbagai konsep dan ukuran
untuk menandai berbagai aspek dari permasalahan tersebut. Bagi yang
memperhatikan masalah-masalah kebijakan sosial secara lebih luas biasanya lebih
memperhatikan konsep “tingka hidup”, yakni tidak hanya menekankan tingkat
pendapatan saja, tetapijuga msalah pendidikan, perumahan, kesehatan dan kondisi
kondisi sosial lainya dari masyarakat.
Menurut ahli (antara lain Andre Bayo
Ala, 1981), kemiskinan itu bersifat multi
dimensional. Artinya, karena kebutuhan manusia itu bermacam-macam, maka
kemiskinan pun memiliki banyak aspek. Dilihat dari kebijakan umum, maka
kemiskinan meliputi aspek primer yang berupa miskin akan aset, organisasi
sosial politik, dan pengetahuan serta keterampilan; dan spek sekunder yang
berupa miskin akan jaringan sosial, sumber sumber keuangan dan informasi.
Dimensi-dimensi kemiskinan tersebut termanifestasikan dalam bentuk kekurangan
gizi, air, perumahan yang sehat, perawatan kesehatan yang kurang baik, dan
tingkat pendidikan yang rendah.
Selain itu, dimensi-dimensi kemiskinan
saling berkaitan, baik secara langsung maupun tak langsung. Hal ini berarti
bahwa kemajuan dan atau kemunduran pada salah satu aspek dapat mempengaruhi
kemajuan atau kemunduran aspek lainya. Dan aspek lainya dari kemiskinan ini
adalah bahwa yang miskin itu adalah manusianya, baik secara individual maupun
kolektif. Oleh karena itu, masalah kemiskinan ini masih tetep relavan dan
penting untuk dikaji dan diupayakan penanggulanganya, kalau tujuan pembangunan
nasional yang adil dan merata serta terbentuknya manusia Indonesia seutuhnya
ingin dicapai.
PENYEBAB KEMISKINAN
Para pembuat kebijakan pembangunan selalu berupaya agar
alokasi sumberdaya dapat dinikmati oleh sebagian besar anggota masyarakat.
Namun demikian,karena ciri dan keadaan masyarakat amat beragam dan ditambah
pula dengan tingkat kemajuan ekonomi negara yang bersangkutan yang masih lemah,
maka kebijakan nasional umumnya diarahkan untuk memecahkan permasalahan jangka
pendek. Selain itu,kebijakan dalam negri seringkali tidak terlepas dengan
keadaan yang ada diluar negri yang secara tidak langsung mempengaruhi kebijakan
antara lain dari segi pendanaan pembangunan (Fredericks, 1985).
Dengan demikian, kemiskinan dapat
diamati sebagai kondisi anggota yang tidak/belum ikut serta dalam proses
perubahan karena tidak mempunyai kemampuan, baik kemampuan dalam pemilikan
faktor produksi maupun kualitas faktor produksi yang memadai. Sehingga tidak mendapatkan
manfaat dari hasil proses pembangunan. Pembangunan yang direncanakan oleh
pemerintah yang tidak sesuai dengan kemampuan masyarakat yang bersngkutan untuk
berpartisipasi berakibat manfaat pembangunan tidak menjangkau mereka.
Dengan kata lain, masalah kemiskinan ini bisa selain
ditimbulkan oleh hal yang sifatnya alamiah/kultural juga disebabkan oleh
miskinya strategi dan kebijakan pembangunan yang ada, sehingga para pakar
pemikir tentang kemiskinan kebanyakan melihat kemiskinan sebagai masalah
struktural. Dan pada akhirnya timbul istilah kemiskinan struktural yakni kemiskinan yang diderita oleh suatu
golongan masyarakat karna struktur sosial masyarakat tersebut tidak dapat ikut
menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka (Selo
Sumardjan, 1980).
UKURAN KEMISKINAN
Dalam bagian ini akan dijelaskan 2macam ukuran kemiskinan
yang umum digunakan yaitu;
1. Kemiskinan
Absolut
Pada dasarnya konsep kemiskinan dikaitkan dengan perkiraan
tingkat pendapatan dan kebutuhan. Perkiraan kebutuhan hanya dibatasi pada
kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan seseorang untuk
dapat hidup secara laik. Dengan demikian, kemiskinan diukur dengan
memperbandingkan tingkat pendapatan orang dengan tingkat pendapatan yang
dibutuhkan untuk memperoleh kebutuhan dasarnya. Tingkat pendapatan minimum
merupakan pembatas antara keadaan miskin dengan tidak miskin atau sering
disebut sebagai garis batas kemizkinan. Konsep ini dimaksudkan untuk menentukan
tingkat pendapatan minimum yang cukup untuk memenuhi kebutuhan fisik terhadap
makanan, pakaian, dan perumahan untuk menjamin kelangsungan hidup
(Todaro,1997).
Kesulitan utama dalam konsep kemiskinan
absolut adalah menentukan komposisi dan tingkat kebutuhan minimum karena kedua
hal tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh adat kebiasaan saja, tetapijuga oleh
iklim,tingkat kemajuan suatu negara, dan berbagai faktor ekonomi lainya.
Walaupun demikian, untuk dapat hidup baik seseorang membutuhkan barang dan jasa
untuk memenuhi kebutuhan fisik dan sosialnya.
2. Kemiskinan
Relatif
Orang yang sudah mempunyai tingkat pendapatan yang dapat
memenuhi kebutuhan dasar minimum tidak selalu berarti “tidak miskin”. Ada ahli
yang berpendapat bahwa walaupun pendapatan sudah mencapai tingkat kebutuhan
dasar minimum, tetapi masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan keadaan masyarakat
di sekitarnya, maka orang tersebut masih berada dalam keadaan miskin. Ini
terjadi karena kemiskinan lebih banyak ditentukan oleh keadaan sekitarnya,
daripada lingkungan orang yang bersangkutan (Miller,1971).
Berdasarkan
konsep ini, gariskemiskinan akan mengalami perubahan bila tingkat hidup
masyarakat berubah. Hal ini jelas merupakan perbaikan dari konsep kemiskinan
absolut. Konsep kemiskinan relatif bersifat dinamis, sehingga kemiskinan akan
selalu ada.
INDIKATOR KEMISKINAN
· Tingkat Konsumsi
Beras
Sajogyo (1977) menggunakan tingkat konsumsi beras per kapita
sebagai indikator kemiskinan. Untuk daerah perdesaan, penduduk dengan konsumsi
beras kurang dari 240kg per kapita pertahun bisa sigolongkan miskin. Sedangkan
untuk daerah perkotaan adalah 360kg per kapita pertahun.
· Tingkat Pendapatan
Menurut BPS (1989) di daerah perkotaan,
pendapatan yang dibutuhkan untuk melepaskan diri dari katagori miskin adalah Rp
4.522,00perkapita pada tahun 1976, sedang pada tahun 1993 adalah Rp 27.905,00.
Hal ini dapat dipahami karena dinamika
kehidupan yang berbeda antara keduanya. Penduduuk di daerah perkotaan mempunyai
kebutuhan yang relatif sangat beragam dibanding dengan daerah perdesaan
sehingga mempengaruhi pula pola pengeluaran.
· Indikator
Kesejahteraan Rakyat
Selain data pendapatan dan pengeluaran, ada berbagai
komponen tingkat kesejahteraan yang lain yang sering digunakan. Pada publikasi
UN (1961) yang berjudul International Definition and Measurement of
Living: An Interim Guide disarankan 9 komponen kesejahteraan yaitu
kesehatan, konsumsi makanan dan gizi, pendidikan, kesempatan kerja, perumahan,
jaminan sosial, sandang, rekreasi dan kebebasan.
STRATEGI/KEBIJAKAN
DALAM MENGURANGI KEMISKINAN
Pembangunan Pertanian
Sektor
pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi dan pengurangan kemiskinan
di Indonesia. Ada 3 aspek dari pembangunan pertanian yang telah memberikan
kontribusi yang cukup besar bagi pengurangan kemiskinan tersebut, terutama di
daerah perdesaan. Kontribusi terbesar bagi peningkatan pendapatan perdesaan dan
pengurangan kemiskinan perdesaan dihasilkan dari adanya revolusi teknologi
dalam pertanian padi, termasuk pembangunan irigasi.
Konstribusi
utama lainya datang dari program Pemerintah untuk meningkatkan produksi tanaman
keras. Misalnya, lebih dari 200.000 petani diluar Jawa telah dibantu untuk
menanam karet, kelapa dan kelapa sawit. Dan akhirnya, pembangunan luar Jawa
juga berperan mengurangi kemiskinan di Jawa melalui pembangunan pertanian di
daerah-daerah transmigrasi.
Pembangunan Sumberdaya
Manusia
Perbaikan akses
terhadap konsumsi pelayanan sosial (pendidikan, kesehatan dan gizi) merupakan
alat kebijakan penting dalam strategi pemerintah secara keseluruhan untuk
mengurangi kemiskinan dan memperbaiki kesejahteraan penduduk Indonesia. Perluasan
ruang lingkup dan kualitas dari pelayanan-pelayanan pokok tersebut membutuhkan
investasi modal insani yang pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas
golongan miskin tersebut.
Di Indonesia,
atau dimana saja, pendidikan (formal dan non formal) bisa berperan penting
dalam mengurangi kemiskinan dalam jangka panjang, baik secara tidak langsung
melalui perbaikan produktivitas dan efisiensi secara umum, maupun secara
langsung melalui pelatihan golongan miskin dengan keterampilan yang dibutuhkan
untuk meningkatkan produktivitas mereka dan pada giliranya akan meningkatkan
pendapatan mereka.
Peranan Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM)
LSM-LSM
bisa memainkan peran yang lebih besar di dalam perancangan dan implementasi
program pengurangan kemiskinan. Karena fleksibelitas dan pengetahuan mereka
tentang komunitas yang mereka bina, LSM-LSM ini untuk beberapa hal bisa
menjangkau golongan miskin tersebut secara lebih efektif ketimbang
program-program pemerintah. Keterlibatan LSM-LSM juga dapat meringankan biaya
finansial dan staf dalam pengimplementasian program padat-karya untuk
mengurangi kemiskinan.
KESENJANGAN SOSIAL
Perekonomian
Indonesia tumbuh 6,1 persen, melampaui target 5,8 persen. Nilai produk domestik
bruto naik dari Rp. 5.603,9 triliun pada 2009 menjadi Rp. 6.422,9 triliun tahun
lalu. Namun, pertumbuhan ekonomi ini meninmbulkan kesenjangan di masyarakat
(Kompas,8/2/2011).
Pengamat
ekonomi Yanuar Rizky (2011), mengatakan bahwa kelompok masyarakat yang sangat
kaya masih menjadi penyokong utama pertumbuhan ekonomi malalui konsumsi rumah
tangga mereka. Sementara sektor industri berorientasi penciptaan niali tambah
penyerap lapangan kerja, yang menjadi salah satu indikator kesuksesan
pertumbuhan ekonomi, justru kian melemah.
Dalam
perspektif ekonomi politik, ketimpangan pembangunan antarsektor ekonomi akibat
kegagalan strategi pembangunan. Dukungan kebijakan terhadap pembangunan sektor
industri tanpa menyertakan sektor pertanian di masa lampau telah menciptakan
banyak kantong-kantong orang miskin (Yustika, 2009). Sayangnya, pengembangan
skctor industri secara besar-besaran yang digerakkan oleh pemerintah justru
mengalami kegagalan, padahal kebijakan khusus telah diberikan, misalnya
subsidi, tata niaga, lisensi dan monopoli. Sebaliknya, akibat kebijakan khususu
tersebut, sektor industri yang dikembangkan struktur pasarnya menjadi sangat
terkosentrasi.
Kepala
Badan Pusat Statistik Rusman Heriawan mengumumkan, bahwa pertumbuhan ekonomi
pada 2010 dengan nilai produk domestic bruto (PDB) Rp. 6.422,9 triliun dan
pendapatan per kapita mencapai Rp. 27 juta per tahun (Kompas, 8/2/2011). Jumlah
ini didapat dari membagi Rp. 6.422,9 triliun dengan 237,6 juta penduduk
Indonesia. Rusman menjelaskan, konsumsi rumah tangga menyumbang kue pertumbuhan
terbesar, yakni 56,7 persen, disusul investasi 32,2 persen. Idealnya, konsumsi
rumah tangga terus menurun hingga di bawah 50 persen, seperti yang terjadi di
Negara-negara maju.
Menurut
Yanuar, konsumsi rumah tangga yang tinggi tersebut sebagian besar didukung oleh
kelompok masyarakat berpendapatan tinggi. Konsumsi nasional pun ternyata gagal
mendorong kegiatan produksi karena sebagian besar kebutuhan domestic didapat
dari impor.
Mengutip
laporan Asia Wealth Report 2010 yang memaparkan secara rinci ke mana saja
distribusi investasi kekayaan orang-orang kaya di asia-pasifik termasuk
indonesia. Kelompok orang kaya Indonesia menyimpan 33 persen asset kekayaan
mereka dalam bentuk deposito atau tabungan, real estate (22 persen), saham (19
persen), reksa dana pendapatan tetap (16 persen), dan investasi alternatif ,
seperti kurs mata uang asing atau komoditas (10 persen).
Jadi,
kebanyakan peningkatan pendapatan ini berasal dari deposito dan instrument
finansial lain dan yang menikmati hanya 200.000 pemilik rekening di atas Rp.
100 juta, menurut data BPS (Kompas, 8/2/2011). Bagaimana bisa berkualitas kalau
pertumbuhan lebih rendah dari inflasi (6,96 persen) dan orang yang tumbuh saat
ini hanya pemilik modal yang mampu bermain pasar uang, bukan berproduksi,” ujar
Yanuar.
Pertumbuhan
ekonomi yang kuat menuju 2013 dengan system ekonomi terbuka sama sekali bukan
jaminan bahwa kesenjangn kaya -miskin di Indonesia akan berkurang banyak. AS
saja, sebagai Negara dengan ekonomi terbesar di dunia, mengalami problem dalam
kesenjangan kaya-miskin itu (Sayidiman Suryohadiprojo, 2011). Di harian The New
York Time edisi 2 Januari 2011 ada tulisan Nicholas D Kristof, “Equality, a
True Soul Food”. Tulisan itu berhubungan dengan kondisi masyarakat AS dewasa
ini yang menurut Economic Policy Institute di Washington DC, sekarang mengalami
pembagian kekayaan sangat tak wajar.
Menurut
lembaga itu, satu persen penduduk AS terkaya menguasai 34 persen asset
nasional, sedangkan 90 persen penduduk termiskin menguasai 29 persen. Itu
berarti, antara sekitar 2 juta orang terkaya dan 150 juta termiskin ada senjang
amat lebar. Jika dihubungkan dengan tulisan Richard Wilkinson dan Kate Pickett,
dalam bukunya The Spirit Level: Why greater Equality Makes Societies Stronger,
sebagimana dikutip Sayidiman Suryohadiprojo (2011), mereka mengatakan bahwa
kesenjangan yang lebar mengakibatkan berbagai kelemahan masyarakat, seperti
kriminalitas tinggi, penggunaan narkotika meningkat, bahkan tingkat tinggi
dalam penyakit jantung dan kanker.
Kesenjangan
yang lebar tak hanya berakibat pada ekonomi, tetapi juga amat besar dampaknya
terhadap kondisi psikologi bangsa. Maka boleh dikatakan bahwa “ kesenjangan
adalah kerawanan yang besar”. Hal ini juga berlaku bagi bangsa Indonesia.
Substansi dari kesenjangan adalah ketidakmerataan akses terhadap sumber daya
ekonomi. Masalah kesenjangan adalah masalah keadilan, yang berkaitan dengan
masalah sosial (Oman Sukmana, 2005). Masalah kesenjangan mempunyai kaitan erat
dengan masalah kemiskinan.
Reaksi
lain terhadap meruyaknya ketimpangan-ketimpangan dalam pembagian pendapatan
yang terselubung di balik angkaangka GNP dating dari mereka yang diidentikan
sebagai pencetus indikator pembangunan nonekonomi. Meskipun corak ekonomi masih
jelas dalam konsep mereka, namun ada perubahan fundamental di dalam cara
memberikan makna pertumbuhan ekonomi itu sendiri jika dibanding dengan ide
pendukung indikator pembangunan ekonomi klasik. Tokoh utama pendukung indikator
nonekonomi ini, Dudley Seers, sebagaimana dikutip Moeljarto (1987), menegaskan
bahwa ada tiga hal yang perlu ditanyakan tentang pembangunan suatu Negara,
yaitu apa yang tengah terjadi dengan kemiskinan; apa yang tengah terjadi dengan
pengangguran; dan apa yang tengah terjadi dengan ketimpangan. Apabila jawaban
atas ketiga hal tersebut adalah “penurunan secara substansial” maka tidak
diragukan lagi bahwa nrgara tersebut baru mengalami periode pembangunan.
Sosiolog
Mochtar Naim (2011) mengabarkan bahwa yang ditonjolkan selama ini hanyalah “apa
dan bagaimana serta dengan hasil capaian berapa, secara makro, lalu dibagi
dengan jumlah penduduk”, tetapi tak pernah “oleh siapa dan untuk siapa, menurut
jalur pelapisan sosial”. Padahal struktur masyarakat kita sangat berlapis dan
bertingkat, bahkan cenderung dualistik dan dikotomik. Celakanya, pelapisan dan
dualisme ataupun dikotomi sosial itu, seperti pada zaman kolonial dulu,
cenderung etnosentrik dan etnobias pula sifatnya. Artinya, kelompok terkecil
masyarakat menurut jalur etnik itu, yang umumnya adalah nonpribumi, mengusai
bagian terbesar kekayaan nasional. Sementara kelompok terbesar dari masyarakat
pribumi yang merupakanpewaris sah dari republik ini mendapatkan bagian dan
porsi terkecil. Akibatnya, cita-cita Pasal 34 UUD 1945, “pembangunan itu adalah
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyaat”, hanyalah isapan jempol belaka.
Hubungan antara Kesenjangan Pendapatan dengan Pertumbuhan
Ekonomi
Hubungan
antara tingkat kesenjangan pendapatan dengan pertumbuhan ekonomi dapat dijelaskan
dengan Kuznet Hypothesis. Hipotesis tersebut berawal dari pertumbuhan ekonomi (berasal
dari tingkat pendapatan yang rendah berasosiasi dalam suatu masyarakat agraris
pada tingkat awal) yang pada mulanya menaik pada tingkat kesenjangan pendapatan
rendah hingga sampai pada suatu tingkat pertumbuhan tertentu selanjutnya
menurun. Indikasi yang diberikan oleh Kuznet di atas didasarkan pada riset
dengan menggunakan data time series terhadap indikator kesenjangan negara
Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat.
Pemikiran tentang
mekanisme yang terjadi pada phenomena “Kuznet” bermula dari transfer
yang berasal dari
sektor tenaga kerja dengan produktivitas rendah (dan tingkat kesenjangan pendapatannya
rendah), ke sektor yang mempunyai produktivitas tinggi (dan tingkat kesenjangan
menengah). Dengan adanya kesenjangan antar sektor maka secara subtansial akan
menaikan kesenjangan diantara tenaga kerja yang bekerja pada masing-masing
sektor(Ferreira, 1999, 4). Versi dinamis dari Kuznet Hypothesis, menyatakan
bahwa kecepatan pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun (dasa warsa)
memberikan indikasi naiknya tingkat kesenjangan pendapatan dengan memperhatikan
initial level of income (Deininger &Squire, 1996a). Periode pertumbuhan
ekonomi yang hampir merata sering berasosiasi dengan kenaikan kesenjangan
pendapatan yang menurun. Reformasi ekonomi yang terjadi pada transisi
perekonomian di Eropa Timur dan Asia Tengah (ECA=Eastern Europe and Central
Asia) memberikan kesimpulan nyata (empirical result) yang berbeda. Dengan memperhatikan
sampel dari 64 perubahan dalam rata-rata pendapatan dan kesenjangan antara
tahun 1984 dan 1994 Ravalion dan Chen (1997) menemukan hubungan yang signifikan
dan berkorelasi negatif antara pertumbuhan ekonomi dengan perubahan kesenjangan.
Hasil riset ini memberikan petunjuk bahwa kenaikan pertumbuhan ekonomi akan menurunkan
kesenjangan pendapatan, daripada memberikan kontribusi atas kenaikan
kesenjangan pendapatan (Ravallion dan Chen, 1997: 370). Hal ini memberikan
reaksi yang positif terhadap hubungan antara pertumbuhan dengan pemerataan dan
secara spesifik memberikan arah yang baik bagi proses reformasi di ECA, tetapi
satu kasus belum cukup untuk digeneralisasikan bagi studi tentang hubungan
antara pertumbuhan dengan kesenjangan pendapatan.
Pengaruh Distribusi Pendapatan terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Pada
tahun 1990, pandangan klasik tentang distribusi (salah satu aspek yang diukur
adalah kesenjangan) tidak hanya pada output akhir, tetapi faktanya berdampak
pada faktor-faktor utama dari indikator ekonomi. Banyak ahli ekonomi berangkat
dari topik yang sama tentang ketersediaan kredit di masyarakat. Oded Galor dan
Joseph Zeira (1993) pada paper “Income Distribution and Macroeceonomics”
memberikan kesimpulan: “In general, this study shows that distribution of
wealth and incomes are very important from a macroeconomic point of view. They
affect output and investment in the short and in the long run and the pattern
of adjustment to exogenous shocks. It is, therefore, our belief that this
relationship between income distribution and macroeconomics will attract more
studies in the future”(Galor, O and J. Zeira, 1993, 35-52). Studi empiris
menyatakan bahwa preposisi kesenjangan tingkat awal (initially inequality) rupa-rupanya
berasosiasi dengan tingkat pertumbuhan yang rendah (Persson &
Tabellini,1994 dan Alesina & Rodrik, 1994). Dengan menggunakan kumpulan
data yang tersedia, kedua studi menemukan variabel kesenjangan berhubungan
negatif dan signifikan dengan pertumbuhan dalam regressi model pertumbuhan,
jika pengontrolan terhadap variabel yang berada di sisi sebelah kanan dari
persamaan adalah nilai awal pendapatan (initial income), kesempatan bersekolah
(schooling), dan investasi kapital (Physicalcapital invesment). Survey yang
dilakukan oleh Benabou (1996) dengan menggunakan data cross country juga
menghasilkan kesimpulan yang sama. Isu empiris yang ada tidak dapat menjelaskan
hubungan antara pertumbuhan dengan kesenjangan pendapatan yang terjadi.
Walaupun begitu,beberapa laporan penelitian mengikuti perdebatan yang
menyatakan bahwa tingkat kesenjangan awal (initial income inequality) tidak
mungkin berdampak pada pertumbuhan aggregat ekonomi potensial secara langsung.
Proksi variabel banyak digunakan untuk masalah kesenjangan kekayaan (wealth
inequality) yang paling fundamental. Salah satu pengukuran yang masuk
didalamnya menyatakan hubungan antara kesenjangan asset dan pertumbuhan ekonomi
adalah signifikan dan berslope negatif (Forbes 1997 dan Birdsall dan Londono:
1997). Hubungan antara kesenjangan pendapatan dengan pertumbuhan ekonomi dapat
secara langsung maupun tak langsung. Studi terkini menunjukan bahwa hubungan
antara kesenjangan pendapatan dengan pertumbuhan ekonomi melalui beberapa
saluran (channels), (Ferriera, 1999: 9).
SUMBER;
SUMBER;
Lincolin Arsyad, Ekonomi
pembangunan; Edisi ke-4 cetakan ke-1. Yogyakarta: Bagian penerbitan Sekolah
Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN 1999.
http://www.jurnal.uii.ac.id/index.php/JEP/article/viewFile/621/547
http://puslit.kemsos.go.id/upload/post/files/21f67d035eb50eff518309e438be4c8b.pdf
Komentar
Posting Komentar