Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial



Anggota Kelompok :
·       Armailya Sukma
·       Dina agusti
·       Yudha pratama
·       Ronaldo SJM


KEMISKINAN

Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Pada tahun 1990 yang lalu perhatian masyarakat terhadap masalah kemiskinan kembali digugah setelah cukup lama tidak banyak diperbincangkan di media masa. Perhatian masyarakat tersebut berawal dari pernyataan Bank Dunia (1990) dimedia massa yang memuji keberhasilan Indonesia dalam mengurangi jumlah penduduk miskin. Menurut Bank Dunia, Indonesia telah berhasil mengurangi jumlah penduduk miskin secara relatih dari 40,08 persen pada tahun 1976 menjadi 17,42 persen dari jumlah populasi pada tahun 1987. Suatu penurunan yang sangat signitifikan hanya dalam kurun waktu 10 tahun.
Namun demikian, secara absolut jumlah penduduk Indonesia yang hidup dibawah garis kemiskinan ternyata banyak yakni 22,6 juta jiwa pada tahun 1996. Selain itu, masih banyak penduduk yang pendapatanya hanya sedikit sekali di atas batas garis kemiskinan. Oleh karena itu, masalah kemiskinan ini masih tetap perlu diperhatikan secara serius, karena tujuan pembangunan Indonesia adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.
Sementara itu di dunia ilmiah masalah kemiskinan ini telah banyak ditelaah oleh para ilmuwan sosial dari berbagai latar belakang disiplin ilmu dengan menggunakan berbagai konsep dan ukuran untuk menandai berbagai aspek dari permasalahan tersebut. Bagi yang memperhatikan masalah-masalah kebijakan sosial secara lebih luas biasanya lebih memperhatikan konsep “tingka hidup”, yakni tidak hanya menekankan tingkat pendapatan saja, tetapijuga msalah pendidikan, perumahan, kesehatan dan kondisi kondisi sosial lainya dari masyarakat.
Menurut ahli (antara lain Andre Bayo Ala, 1981), kemiskinan itu bersifat multi dimensional. Artinya, karena kebutuhan manusia itu bermacam-macam, maka kemiskinan pun memiliki banyak aspek. Dilihat dari kebijakan umum, maka kemiskinan meliputi aspek primer yang berupa miskin akan aset, organisasi sosial politik, dan pengetahuan serta keterampilan; dan spek sekunder yang berupa miskin akan jaringan sosial, sumber sumber keuangan dan informasi. Dimensi-dimensi kemiskinan tersebut termanifestasikan dalam bentuk kekurangan gizi, air, perumahan yang sehat, perawatan kesehatan yang kurang baik, dan tingkat pendidikan yang rendah.
Selain itu, dimensi-dimensi kemiskinan saling berkaitan, baik secara langsung maupun tak langsung. Hal ini berarti bahwa kemajuan dan atau kemunduran pada salah satu aspek dapat mempengaruhi kemajuan atau kemunduran aspek lainya. Dan aspek lainya dari kemiskinan ini adalah bahwa yang miskin itu adalah manusianya, baik secara individual maupun kolektif. Oleh karena itu, masalah kemiskinan ini masih tetep relavan dan penting untuk dikaji dan diupayakan penanggulanganya, kalau tujuan pembangunan nasional yang adil dan merata serta terbentuknya manusia Indonesia seutuhnya ingin dicapai.

PENYEBAB KEMISKINAN

Para pembuat kebijakan pembangunan selalu berupaya agar alokasi sumberdaya dapat dinikmati oleh sebagian besar anggota masyarakat. Namun demikian,karena ciri dan keadaan masyarakat amat beragam dan ditambah pula dengan tingkat kemajuan ekonomi negara yang bersangkutan yang masih lemah, maka kebijakan nasional umumnya diarahkan untuk memecahkan permasalahan jangka pendek. Selain itu,kebijakan dalam negri seringkali tidak terlepas dengan keadaan yang ada diluar negri yang secara tidak langsung mempengaruhi kebijakan antara lain dari segi pendanaan pembangunan (Fredericks, 1985).
Dengan demikian, kemiskinan dapat diamati sebagai kondisi anggota yang tidak/belum ikut serta dalam proses perubahan karena tidak mempunyai kemampuan, baik kemampuan dalam pemilikan faktor produksi maupun kualitas faktor produksi yang memadai. Sehingga tidak mendapatkan manfaat dari hasil proses pembangunan. Pembangunan yang direncanakan oleh pemerintah yang tidak sesuai dengan kemampuan masyarakat yang bersngkutan untuk berpartisipasi berakibat manfaat pembangunan tidak menjangkau mereka.
Dengan kata lain, masalah kemiskinan ini bisa selain ditimbulkan oleh hal yang sifatnya alamiah/kultural juga disebabkan oleh miskinya strategi dan kebijakan pembangunan yang ada, sehingga para pakar pemikir tentang kemiskinan kebanyakan melihat kemiskinan sebagai masalah struktural. Dan pada akhirnya timbul istilah kemiskinan struktural yakni kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karna struktur sosial masyarakat tersebut tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka (Selo Sumardjan, 1980).

UKURAN KEMISKINAN
Dalam bagian ini akan dijelaskan 2macam ukuran kemiskinan yang umum digunakan yaitu;

1.     Kemiskinan Absolut

Pada dasarnya konsep kemiskinan dikaitkan dengan perkiraan tingkat pendapatan dan kebutuhan. Perkiraan kebutuhan hanya dibatasi pada kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan seseorang untuk dapat hidup secara laik. Dengan demikian, kemiskinan diukur dengan memperbandingkan tingkat pendapatan orang dengan tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memperoleh kebutuhan dasarnya. Tingkat pendapatan minimum merupakan pembatas antara keadaan miskin dengan tidak miskin atau sering disebut sebagai garis batas kemizkinan. Konsep ini dimaksudkan untuk menentukan tingkat pendapatan minimum yang cukup untuk memenuhi kebutuhan fisik terhadap makanan, pakaian, dan perumahan untuk menjamin kelangsungan hidup (Todaro,1997).
Kesulitan utama dalam konsep kemiskinan absolut adalah menentukan komposisi dan tingkat kebutuhan minimum karena kedua hal tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh adat kebiasaan saja, tetapijuga oleh iklim,tingkat kemajuan suatu negara, dan berbagai faktor ekonomi lainya. Walaupun demikian, untuk dapat hidup baik seseorang membutuhkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan fisik dan sosialnya.

2.     Kemiskinan Relatif

Orang yang sudah mempunyai tingkat pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum tidak selalu berarti “tidak miskin”. Ada ahli yang berpendapat bahwa walaupun pendapatan sudah mencapai tingkat kebutuhan dasar minimum, tetapi masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan keadaan masyarakat di sekitarnya, maka orang tersebut masih berada dalam keadaan miskin. Ini terjadi karena kemiskinan lebih banyak ditentukan oleh keadaan sekitarnya, daripada lingkungan orang yang bersangkutan (Miller,1971).
            Berdasarkan konsep ini, gariskemiskinan akan mengalami perubahan bila tingkat hidup masyarakat berubah. Hal ini jelas merupakan perbaikan dari konsep kemiskinan absolut. Konsep kemiskinan relatif bersifat dinamis, sehingga kemiskinan akan selalu ada.

INDIKATOR KEMISKINAN

·       Tingkat Konsumsi Beras

Sajogyo (1977) menggunakan tingkat konsumsi beras per kapita sebagai indikator kemiskinan. Untuk daerah perdesaan, penduduk dengan konsumsi beras kurang dari 240kg per kapita pertahun bisa sigolongkan miskin. Sedangkan untuk daerah perkotaan adalah 360kg per kapita pertahun.

·       Tingkat Pendapatan

Menurut BPS (1989) di daerah perkotaan, pendapatan yang dibutuhkan untuk melepaskan diri dari katagori miskin adalah Rp 4.522,00perkapita pada tahun 1976, sedang pada tahun 1993 adalah Rp 27.905,00.
Hal ini dapat dipahami karena dinamika kehidupan yang berbeda antara keduanya. Penduduuk di daerah perkotaan mempunyai kebutuhan yang relatif sangat beragam dibanding dengan daerah perdesaan sehingga mempengaruhi pula pola pengeluaran.

·       Indikator Kesejahteraan Rakyat

Selain data pendapatan dan pengeluaran, ada berbagai komponen tingkat kesejahteraan yang lain yang sering digunakan. Pada publikasi UN (1961) yang berjudul International Definition and Measurement of Living: An Interim Guide disarankan 9 komponen kesejahteraan yaitu kesehatan, konsumsi makanan dan gizi, pendidikan, kesempatan kerja, perumahan, jaminan sosial, sandang, rekreasi dan kebebasan.

STRATEGI/KEBIJAKAN DALAM MENGURANGI KEMISKINAN

Pembangunan Pertanian
            Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi dan pengurangan kemiskinan di Indonesia. Ada 3 aspek dari pembangunan pertanian yang telah memberikan kontribusi yang cukup besar bagi pengurangan kemiskinan tersebut, terutama di daerah perdesaan. Kontribusi terbesar bagi peningkatan pendapatan perdesaan dan pengurangan kemiskinan perdesaan dihasilkan dari adanya revolusi teknologi dalam pertanian padi, termasuk pembangunan irigasi.
            Konstribusi utama lainya datang dari program Pemerintah untuk meningkatkan produksi tanaman keras. Misalnya, lebih dari 200.000 petani diluar Jawa telah dibantu untuk menanam karet, kelapa dan kelapa sawit. Dan akhirnya, pembangunan luar Jawa juga berperan mengurangi kemiskinan di Jawa melalui pembangunan pertanian di daerah-daerah transmigrasi.


Pembangunan Sumberdaya Manusia
            Perbaikan akses terhadap konsumsi pelayanan sosial (pendidikan, kesehatan dan gizi) merupakan alat kebijakan penting dalam strategi pemerintah secara keseluruhan untuk mengurangi kemiskinan dan memperbaiki kesejahteraan penduduk Indonesia. Perluasan ruang lingkup dan kualitas dari pelayanan-pelayanan pokok tersebut membutuhkan investasi modal insani yang pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas golongan miskin tersebut.
            Di Indonesia, atau dimana saja, pendidikan (formal dan non formal) bisa berperan penting dalam mengurangi kemiskinan dalam jangka panjang, baik secara tidak langsung melalui perbaikan produktivitas dan efisiensi secara umum, maupun secara langsung melalui pelatihan golongan miskin dengan keterampilan yang dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas mereka dan pada giliranya akan meningkatkan pendapatan mereka.

Peranan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
            LSM-LSM bisa memainkan peran yang lebih besar di dalam perancangan dan implementasi program pengurangan kemiskinan. Karena fleksibelitas dan pengetahuan mereka tentang komunitas yang mereka bina, LSM-LSM ini untuk beberapa hal bisa menjangkau golongan miskin tersebut secara lebih efektif ketimbang program-program pemerintah. Keterlibatan LSM-LSM juga dapat meringankan biaya finansial dan staf dalam pengimplementasian program padat-karya untuk mengurangi kemiskinan.


KESENJANGAN SOSIAL
Perekonomian Indonesia tumbuh 6,1 persen, melampaui target 5,8 persen. Nilai produk domestik bruto naik dari Rp. 5.603,9 triliun pada 2009 menjadi Rp. 6.422,9 triliun tahun lalu. Namun, pertumbuhan ekonomi ini meninmbulkan kesenjangan di masyarakat (Kompas,8/2/2011).
Pengamat ekonomi Yanuar Rizky (2011), mengatakan bahwa kelompok masyarakat yang sangat kaya masih menjadi penyokong utama pertumbuhan ekonomi malalui konsumsi rumah tangga mereka. Sementara sektor industri berorientasi penciptaan niali tambah penyerap lapangan kerja, yang menjadi salah satu indikator kesuksesan pertumbuhan ekonomi, justru kian melemah.
Dalam perspektif ekonomi politik, ketimpangan pembangunan antarsektor ekonomi akibat kegagalan strategi pembangunan. Dukungan kebijakan terhadap pembangunan sektor industri tanpa menyertakan sektor pertanian di masa lampau telah menciptakan banyak kantong-kantong orang miskin (Yustika, 2009). Sayangnya, pengembangan skctor industri secara besar-besaran yang digerakkan oleh pemerintah justru mengalami kegagalan, padahal kebijakan khusus telah diberikan, misalnya subsidi, tata niaga, lisensi dan monopoli. Sebaliknya, akibat kebijakan khususu tersebut, sektor industri yang dikembangkan struktur pasarnya menjadi sangat terkosentrasi.
Kepala Badan Pusat Statistik Rusman Heriawan mengumumkan, bahwa pertumbuhan ekonomi pada 2010 dengan nilai produk domestic bruto (PDB) Rp. 6.422,9 triliun dan pendapatan per kapita mencapai Rp. 27 juta per tahun (Kompas, 8/2/2011). Jumlah ini didapat dari membagi Rp. 6.422,9 triliun dengan 237,6 juta penduduk Indonesia. Rusman menjelaskan, konsumsi rumah tangga menyumbang kue pertumbuhan terbesar, yakni 56,7 persen, disusul investasi 32,2 persen. Idealnya, konsumsi rumah tangga terus menurun hingga di bawah 50 persen, seperti yang terjadi di Negara-negara maju.
Menurut Yanuar, konsumsi rumah tangga yang tinggi tersebut sebagian besar didukung oleh kelompok masyarakat berpendapatan tinggi. Konsumsi nasional pun ternyata gagal mendorong kegiatan produksi karena sebagian besar kebutuhan domestic didapat dari impor.
Mengutip laporan Asia Wealth Report 2010 yang memaparkan secara rinci ke mana saja distribusi investasi kekayaan orang-orang kaya di asia-pasifik termasuk indonesia. Kelompok orang kaya Indonesia menyimpan 33 persen asset kekayaan mereka dalam bentuk deposito atau tabungan, real estate (22 persen), saham (19 persen), reksa dana pendapatan tetap (16 persen), dan investasi alternatif , seperti kurs mata uang asing atau komoditas (10 persen).
Jadi, kebanyakan peningkatan pendapatan ini berasal dari deposito dan instrument finansial lain dan yang menikmati hanya 200.000 pemilik rekening di atas Rp. 100 juta, menurut data BPS (Kompas, 8/2/2011). Bagaimana bisa berkualitas kalau pertumbuhan lebih rendah dari inflasi (6,96 persen) dan orang yang tumbuh saat ini hanya pemilik modal yang mampu bermain pasar uang, bukan berproduksi,” ujar Yanuar.
Pertumbuhan ekonomi yang kuat menuju 2013 dengan system ekonomi terbuka sama sekali bukan jaminan bahwa kesenjangn kaya -miskin di Indonesia akan berkurang banyak. AS saja, sebagai Negara dengan ekonomi terbesar di dunia, mengalami problem dalam kesenjangan kaya-miskin itu (Sayidiman Suryohadiprojo, 2011). Di harian The New York Time edisi 2 Januari 2011 ada tulisan Nicholas D Kristof, “Equality, a True Soul Food”. Tulisan itu berhubungan dengan kondisi masyarakat AS dewasa ini yang menurut Economic Policy Institute di Washington DC, sekarang mengalami pembagian kekayaan sangat tak wajar.
Menurut lembaga itu, satu persen penduduk AS terkaya menguasai 34 persen asset nasional, sedangkan 90 persen penduduk termiskin menguasai 29 persen. Itu berarti, antara sekitar 2 juta orang terkaya dan 150 juta termiskin ada senjang amat lebar. Jika dihubungkan dengan tulisan Richard Wilkinson dan Kate Pickett, dalam bukunya The Spirit Level: Why greater Equality Makes Societies Stronger, sebagimana dikutip Sayidiman Suryohadiprojo (2011), mereka mengatakan bahwa kesenjangan yang lebar mengakibatkan berbagai kelemahan masyarakat, seperti kriminalitas tinggi, penggunaan narkotika meningkat, bahkan tingkat tinggi dalam penyakit jantung dan kanker.
Kesenjangan yang lebar tak hanya berakibat pada ekonomi, tetapi juga amat besar dampaknya terhadap kondisi psikologi bangsa. Maka boleh dikatakan bahwa “ kesenjangan adalah kerawanan yang besar”. Hal ini juga berlaku bagi bangsa Indonesia. Substansi dari kesenjangan adalah ketidakmerataan akses terhadap sumber daya ekonomi. Masalah kesenjangan adalah masalah keadilan, yang berkaitan dengan masalah sosial (Oman Sukmana, 2005). Masalah kesenjangan mempunyai kaitan erat dengan masalah kemiskinan.
Reaksi lain terhadap meruyaknya ketimpangan-ketimpangan dalam pembagian pendapatan yang terselubung di balik angkaangka GNP dating dari mereka yang diidentikan sebagai pencetus indikator pembangunan nonekonomi. Meskipun corak ekonomi masih jelas dalam konsep mereka, namun ada perubahan fundamental di dalam cara memberikan makna pertumbuhan ekonomi itu sendiri jika dibanding dengan ide pendukung indikator pembangunan ekonomi klasik. Tokoh utama pendukung indikator nonekonomi ini, Dudley Seers, sebagaimana dikutip Moeljarto (1987), menegaskan bahwa ada tiga hal yang perlu ditanyakan tentang pembangunan suatu Negara, yaitu apa yang tengah terjadi dengan kemiskinan; apa yang tengah terjadi dengan pengangguran; dan apa yang tengah terjadi dengan ketimpangan. Apabila jawaban atas ketiga hal tersebut adalah “penurunan secara substansial” maka tidak diragukan lagi bahwa nrgara tersebut baru mengalami periode pembangunan.
Sosiolog Mochtar Naim (2011) mengabarkan bahwa yang ditonjolkan selama ini hanyalah “apa dan bagaimana serta dengan hasil capaian berapa, secara makro, lalu dibagi dengan jumlah penduduk”, tetapi tak pernah “oleh siapa dan untuk siapa, menurut jalur pelapisan sosial”. Padahal struktur masyarakat kita sangat berlapis dan bertingkat, bahkan cenderung dualistik dan dikotomik. Celakanya, pelapisan dan dualisme ataupun dikotomi sosial itu, seperti pada zaman kolonial dulu, cenderung etnosentrik dan etnobias pula sifatnya. Artinya, kelompok terkecil masyarakat menurut jalur etnik itu, yang umumnya adalah nonpribumi, mengusai bagian terbesar kekayaan nasional. Sementara kelompok terbesar dari masyarakat pribumi yang merupakanpewaris sah dari republik ini mendapatkan bagian dan porsi terkecil. Akibatnya, cita-cita Pasal 34 UUD 1945, “pembangunan itu adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyaat”, hanyalah isapan jempol belaka.

Hubungan antara Kesenjangan Pendapatan dengan Pertumbuhan Ekonomi
Hubungan antara tingkat kesenjangan pendapatan dengan pertumbuhan ekonomi dapat dijelaskan dengan Kuznet Hypothesis. Hipotesis tersebut berawal dari pertumbuhan ekonomi (berasal dari tingkat pendapatan yang rendah berasosiasi dalam suatu masyarakat agraris pada tingkat awal) yang pada mulanya menaik pada tingkat kesenjangan pendapatan rendah hingga sampai pada suatu tingkat pertumbuhan tertentu selanjutnya menurun. Indikasi yang diberikan oleh Kuznet di atas didasarkan pada riset dengan menggunakan data time series terhadap indikator kesenjangan negara Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat.
Pemikiran tentang mekanisme yang terjadi pada phenomena “Kuznet” bermula dari transfer

yang berasal dari sektor tenaga kerja dengan produktivitas rendah (dan tingkat kesenjangan pendapatannya rendah), ke sektor yang mempunyai produktivitas tinggi (dan tingkat kesenjangan menengah). Dengan adanya kesenjangan antar sektor maka secara subtansial akan menaikan kesenjangan diantara tenaga kerja yang bekerja pada masing-masing sektor(Ferreira, 1999, 4). Versi dinamis dari Kuznet Hypothesis, menyatakan bahwa kecepatan pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun (dasa warsa) memberikan indikasi naiknya tingkat kesenjangan pendapatan dengan memperhatikan initial level of income (Deininger &Squire, 1996a). Periode pertumbuhan ekonomi yang hampir merata sering berasosiasi dengan kenaikan kesenjangan pendapatan yang menurun. Reformasi ekonomi yang terjadi pada transisi perekonomian di Eropa Timur dan Asia Tengah (ECA=Eastern Europe and Central Asia) memberikan kesimpulan nyata (empirical result) yang berbeda. Dengan memperhatikan sampel dari 64 perubahan dalam rata-rata pendapatan dan kesenjangan antara tahun 1984 dan 1994 Ravalion dan Chen (1997) menemukan hubungan yang signifikan dan berkorelasi negatif antara pertumbuhan ekonomi dengan perubahan kesenjangan. Hasil riset ini memberikan petunjuk bahwa kenaikan pertumbuhan ekonomi akan menurunkan kesenjangan pendapatan, daripada memberikan kontribusi atas kenaikan kesenjangan pendapatan (Ravallion dan Chen, 1997: 370). Hal ini memberikan reaksi yang positif terhadap hubungan antara pertumbuhan dengan pemerataan dan secara spesifik memberikan arah yang baik bagi proses reformasi di ECA, tetapi satu kasus belum cukup untuk digeneralisasikan bagi studi tentang hubungan antara pertumbuhan dengan kesenjangan pendapatan.

Pengaruh Distribusi Pendapatan terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Pada tahun 1990, pandangan klasik tentang distribusi (salah satu aspek yang diukur adalah kesenjangan) tidak hanya pada output akhir, tetapi faktanya berdampak pada faktor-faktor utama dari indikator ekonomi. Banyak ahli ekonomi berangkat dari topik yang sama tentang ketersediaan kredit di masyarakat. Oded Galor dan Joseph Zeira (1993) pada paper “Income Distribution and Macroeceonomics” memberikan kesimpulan: “In general, this study shows that distribution of wealth and incomes are very important from a macroeconomic point of view. They affect output and investment in the short and in the long run and the pattern of adjustment to exogenous shocks. It is, therefore, our belief that this relationship between income distribution and macroeconomics will attract more studies in the future”(Galor, O and J. Zeira, 1993, 35-52). Studi empiris menyatakan bahwa preposisi kesenjangan tingkat awal (initially inequality) rupa-rupanya berasosiasi dengan tingkat pertumbuhan yang rendah (Persson & Tabellini,1994 dan Alesina & Rodrik, 1994). Dengan menggunakan kumpulan data yang tersedia, kedua studi menemukan variabel kesenjangan berhubungan negatif dan signifikan dengan pertumbuhan dalam regressi model pertumbuhan, jika pengontrolan terhadap variabel yang berada di sisi sebelah kanan dari persamaan adalah nilai awal pendapatan (initial income), kesempatan bersekolah (schooling), dan investasi kapital (Physicalcapital invesment). Survey yang dilakukan oleh Benabou (1996) dengan menggunakan data cross country juga menghasilkan kesimpulan yang sama. Isu empiris yang ada tidak dapat menjelaskan hubungan antara pertumbuhan dengan kesenjangan pendapatan yang terjadi. Walaupun begitu,beberapa laporan penelitian mengikuti perdebatan yang menyatakan bahwa tingkat kesenjangan awal (initial income inequality) tidak mungkin berdampak pada pertumbuhan aggregat ekonomi potensial secara langsung. Proksi variabel banyak digunakan untuk masalah kesenjangan kekayaan (wealth inequality) yang paling fundamental. Salah satu pengukuran yang masuk didalamnya menyatakan hubungan antara kesenjangan asset dan pertumbuhan ekonomi adalah signifikan dan berslope negatif (Forbes 1997 dan Birdsall dan Londono: 1997). Hubungan antara kesenjangan pendapatan dengan pertumbuhan ekonomi dapat secara langsung maupun tak langsung. Studi terkini menunjukan bahwa hubungan antara kesenjangan pendapatan dengan pertumbuhan ekonomi melalui beberapa saluran (channels), (Ferriera, 1999: 9).













SUMBER;
Lincolin Arsyad, Ekonomi pembangunan; Edisi ke-4 cetakan ke-1. Yogyakarta: Bagian penerbitan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN 1999.

http://www.jurnal.uii.ac.id/index.php/JEP/article/viewFile/621/547

http://puslit.kemsos.go.id/upload/post/files/21f67d035eb50eff518309e438be4c8b.pdf
 

 

Komentar